Bentuk awal khat Arab yang berkembang di Madinah setidaknya terbagi atas tiga: Mudawwar (bundar), Mutsallats (segi tiga) dan Ti’im (kembar, maksudnya perpaduan antara bundar dan persegi). Dari tiga bentuk ini hanya dua gaya yang diutamakan, yang satu disebut Mabsuth (memanjang) dan yang lain Muqawwar (lengkung). Yang pertama melahirkan tulisan kufi — yang memanjang dengan sapuan lurus tebal dan bersudut siku, sedangkan yang kedua berupa tulisan kursif dengan sudut yang lembut dan tarikan lengkungnya yang landai.
Gaya yang kedua ini kadang juga disebut dengan “penulisan lembut” (soft writing). Pada awal pertumbuhannya di Mekkah dan Madinah ia dikenal sebagai Naskh atau Naskhi Hejazi (tulisan yang digunakan di wilayah Hijaz). Hijaz sendiri merupakan wilayah tepi barat laut jazirah Arab, yang melingkupi Mekkah dan Madinah.
Ketika menyebut tulisan kursif, bukan berarti ia merupakan bentuk/ nama khat tersendiri. Hal ini hanya untuk membedakannya dengan tulisan Kufi yang berkembang di Kufah dan secara bentuk memang relatif berbeda. Selain Naskh, di Mekkah dan Madinah juga berkembang tulisan Masqh dan Mai’l. Namun kedua bentuk tulisan terakhir ini seiring waktu hilang dan bertransformasi ke dalam bentuk Kufi yang disempurnakan pada abad ke-8 M.
Bentuk Naskh inilah yang menjadi dasar tulisan kursif, yang kemudian berkembang ke dalam ragam tulisan yang pada masa Ibnu Muqlah disempurnakan dalam al-Aqlam as-Sittah (enam pena atau enam gaya tulisan), terdiri dari Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Rayhani, Riqa’ dan Tawqi’.
Tulisan Tsuluts yang statis dan agak monumental terutama digunakan untuk memberi hiasan dalam naskah dan inskripsi. Salah satu ragam tulisan ini dikembangkan oleh Ibn al-Bawwab (w. 1022 M) dan Yaqut al-Musta’simi (w. 1298). Sebagian besar tulisan tersebut digunakan untuk kepala karangan, judul, dan kolofon, dan sangat jarang al-Qur’an disalin dalam tulisan tsuluts. Dalam hal ini (penulisan al-Qur’an) yang paling umum menggunakan tulisan naskhi.
Tulisan Naskhi relatif lebih mudah dan banyak digunakan dalam penulisan naskah, karena sifatnya yang sederhana, lembut, dan tidak terlalu banyak ornamen. Sehingga, dalam sebuah naskah yang relatif panjang (seperti halnya dalam lembaran al-Qur’an) bentuknya yang kecil proporsional mudah untuk mengisi bidang yang tidak terlalu besar. Keperluannya pun bisa disesuaikan, hingga tidak selalu garis antar hurufnya dipanjangkan sedemikian rupa seperti umumnya pada bentuk tsuluts, muhaqqaq, rayhani, ataupun kufi.
Muhaqqaq adalah nama yang mula-mula diberikan pada tulisan awal yang huruf-hurufnya kurang menyiku — jika dibanding tulisan kufi. Sambungan antar-hurufnya cukup renggang. Nama muhaqqaq sendiri berarti “hasil ketelitian”. Dibakukan oleh Ibnu Muqlah dan mencapai kesempurnaannya di tangan al-Bawwab dan Yaqut. Seperti tulisan naskhi, pada masanya tulisan ini sangat populer untuk menyalin al-Qur’an.
Tulisan Rayhani awalnya bermula dari naskhi. Namun, ia juga memiliki beberapa ciri tulisan tsuluts, walaupun lebih halus. Ciri lekukan huruf-hurufnya berakhir dengan sudut yang tajam. Ciri lain tulisan rayhani, dibanding dengan tsuluts, adalah goresan vertikalnya yang lebih lurus, lebar, dan lebih terbuka. Meskipun disebutkan bahwa al-Bawwab sebagai pencipta tulisan ini, karena ia yang menyempurnakan keindahan tulisan, pada kenyataannya ia dinisbahkan kepada Ali ibn Ubaydah ar-Rayhani (w. 834 M) sebagai peletak dasar-dasar penulisannya.
Dua gaya terakhir tulisan kursif dari sistem “enam pena”, yaitu Riqa’ dan Tawqi’, disebut merupakan “tulisan bersaudara” karena bentuknya yang mirip. Bahkan kedua gaya ini sebenarnya juga mirip dengan tulisan tsuluts, dan bagi mata awam ketiganya hampir tak bisa dibedakan. Beda tawqi’ dengan tsuluts, huruf-huruf Tawqi lebih bulat seperti halnya juga Riqa’, namun garis-garis tawqi lebih tebal dan secara keseluruhan terkesan lebih padat.
Tawqi’ yang artinya “tanda tangan” lebih popular dan digemari oleh orang-orang Turki, sedangkan Riqa’ yang diambil dari kata ruq’ah (lembaran kecil) lebih digemari orang Arab. Dalam buku Qawa’id al-Khathth al-Arabi yang disusun oleh Hasyim Muhammad al-Baghdadi, nama dan teknik Tawqi tidak ada, dan jangan bayangkan pula khat Riq’ah yang dimaksud dalam buku itu sebagai Riqa’ yang dijelaskan di atas.
Sebenarnya ada banyak sekali ragam tulisan, sebagaimana disebutkan dalam buku Seni Kaligrafi Islam-nya D. Sirojuddin A.R., yang seiring perkembangan zaman hilang atau bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk umum yang kini hanya populer di kalangan santri atau dalam penyelenggaraan MTQ.